Mengurai Benang Kusut Hukum Indonesia: Mengapa Filsafat Hukum Begitu Penting?
Saat ini, panggung hukum di Indonesia sering kali menampilkan adegan yang terasa bagaikan "dagelan, drama, dan sinetron". Tontonan ini, yang membuat orang awam maupun ilmuwan merasa jengah, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah hukum di negeri ini memang lebih berpihak pada yang punya kuasa dan pemodal? Hukum terasa begitu transaksional, dari proses pembentukan hingga penegakannya, bahkan kerap terjepit dalam pusaran politik para pemilik kuasa.
Kondisi yang meresahkan ini tak lepas dari *hegemoni panjang positivisme* dalam pemikiran dan praktik hukum kita. Paradigma klasik ini, yang begitu mendominasi dari hulu ke hilir—mulai dari pengkajian ilmu hukum hingga produksi dan penegakannya—telah menjerumuskan hukum pada jurang pragmatisme. Akibatnya, ada keengganan yang kentara untuk menggali hakikat hukum yang sesungguhnya, kebenaran dan keadilan hukum menjadi samar, dan ada kelalaian dalam menyelaraskan teori, asas, dan paradigma hukum dengan fakta peristiwa hukum yang terus berkembang. Dalam pandangan positivisme, hukum diukur dari fakta keberadaannya (tertulis) yang dibentuk lembaga berwenang, bukan dari perintah Tuhan, akal, atau HAM. Keadilan pun diukur semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan, mengabaikan moral dan etika. Meskipun positivisme memberikan *jaminan kepastian hukum*, ia juga memiliki kelemahan mendasar: hukum rentan dijadikan alat kekuasaan dan bersifat kaku menghadapi perkembangan zaman.
Namun, di tengah kepungan pragmatisme positivistik, hadir seruan untuk kembali merenung, menyelami dimensi terdalam hukum melalui *filsafat hukum*. Buku ini mengajak pembaca, khususnya para pembelajar hukum, untuk mengugah kesadaran keilmuan dan mengubah cara berpikir hukum. Jika ilmu pengetahuan pada umumnya berfokus pada _know-how_ (bagaimana caranya), filsafat hukum justru menitikberatkan pada _know-why_ (mengapa). Berfilsafat berarti berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal hingga ke akar masalah, bahkan melampaui batas-batas fisik menuju tataran makna. Subjek filsafat hukum adalah berpikir yang reflektif, kritis, sungguh-sungguh, mendalam, sampai pada tataran makna hakikat hukum.
Salah satu tujuan utama pembentukan hukum adalah *tercapainya keadilan*. Namun, keadilan itu sendiri adalah konsep yang problematik, dengan beragam pandangan dan tafsir yang dipengaruhi oleh kasus, kepentingan, bahkan bias psikologis. Keadilan dapat dilihat dari berbagai dimensi: ekonomi, sosial, hukum, HAM, dan lainnya, bahkan bisa saling bertentangan. Filsafat hukum membahas pertanyaan-pertanyaan fundamental seputar keadilan, seperti apa itu keadilan hukum, mengapa orang menaati hukum, dan bagaimana hukum seharusnya berhubungan dengan nilai-nilai sosial budaya. Penting untuk disadari bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada tataran teori atau wacana; *keadilan harus diwujudkan*. Wujud keadilan dalam hukum positif idealnya mencakup prinsip-prinsip seperti kemampuan bertanggung jawab, konsistensi perlakuan terhadap kasus serupa, publisitas hukum, dan praduga tidak bersalah. Hukum yang baik harus mewujudkan keadilan, yang mencakup pengakuan hak asasi setiap manusia di depan hukum dan perlakuan yang berbeda untuk hal yang berbeda, mempertimbangkan kondisi kejiwaan dan akal pelaku, serta memastikan setiap orang mengetahui apa yang dilarang dan diwajibkan hukum. Dalam konteks peradilan, keadilan bisa berarti keadilan prosedural (berbasis hukum tertulis) atau keadilan substantif (berbasis nilai-nilai responsif dan hati nurani).
Menyadari keterbatasan positivisme dan kerumitan keadilan, muncul gagasan untuk membangun hukum yang berkarakter ke-Indonesiaan. Ini berarti berani menentukan apa yang terbaik bagi bangsa, termasuk dalam hukum, yang tidak bisa dipaksakan mengikuti cara negara Barat karena perbedaan perkembangan sosial. Rekonstruksi hukum ke-Indonesiaan dapat dimulai dengan penguatan sistem berbasis nilai-nilai Pancasila dan *living law* (hukum yang hidup dalam masyarakat), serta kultur dan penegakan hukum yang berbasis keadilan yang hidup di masyarakat. Living law atau hukum adat, yang berasal dari adat istiadat dan kaidah sosial, diakui sebagai bagian dari hukum yang berlaku di masyarakat majemuk Indonesia. Penegak hukum tidak seharusnya hanya bertitik tolak dari norma hukum formil dalam undang-undang (_law in books_), melainkan juga memperhatikan hukum yang hidup (_living law_) dan budaya hukum masyarakat.
Buku ini juga menyoroti upaya pembaharuan pemikiran hukum di Indonesia. Ada Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yang melihat hukum sebagai *"sarana pembaharuan masyarakat"* atau _law as a tool of social engineering_. Teori ini diciptakan dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia, menggunakan Pancasila sebagai kerangka acuan, dan menekankan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dalam proses perubahan. Lalu ada Hukum Progresif yang digagas Satjipto Rahardjo, yang bertolak dari ketidakpuasan empiris terhadap bekerjanya hukum. Hukum Progresif memiliki filosofi dasar bahwa *hukum itu untuk manusia* dan bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya, dengan ideologi pro-keadilan dan pro-rakyat. Hukum ini menuntut penegak hukum berpikir luar biasa, berani melepaskan diri dari kekakuan teks undang-undang, menggunakan logika kepatutan sosial dan logika keadilan dalam memutuskan perkara.
Lebih jauh lagi, buku ini memperkenalkan Signifikansi Paradigma Profetik untuk penegakan hukum. Paradigma ini berbeda dari positivisme; ia memiliki basis transendensi (berada di luar jangkauan rasio empiristik, bersifat metafisis, ilahiyah, mencakup nilai agama), orientasi humanisasi (menjadikan manusia insan yang sempurna) dan liberasi (pembebasan). Ini adalah upaya merefleksikan teori chaos dalam hukum, melihat masyarakat dan hukum sebagai entitas yang cair dan kompleks. Penegak hukum dalam paradigma ini adalah mujtahid yang dituntut berpikir keras untuk menemukan hukum yang objektif (ijtihad al-hukmi), melandaskan keputusan pada ilmu yang kritis dan intuitif, serta menjaga perilaku etik dan profetik. Secara metodologis, paradigma profetik mendorong penegak hukum untuk mentransformasi hukum yang abstrak menjadi konkret dan membumi, serta mengubah hukum ideologis menjadi ilmu yang terbuka, objektif, dan faktual sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan mempelajari filsafat hukum, pembaca akan mendapatkan beberapa manfaat penting. Pertama, ilmu ini menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pemikiran. Kedua, ia menjadi dasar bagi semua tindakan, membantu manusia merentangkan kesadarannya dalam setiap langkah agar lebih peka terhadap diri dan lingkungan. Ketiga, sifatnya yang menyeluruh melatih seseorang berpikir holistik dan terbuka, tidak arogan terhadap disiplin ilmu lain. Keempat, sifatnya yang mendasar melatih berpikir jeli, cermat, kritis, dan radikal. Terakhir, sifat spekulatifnya melatih berpikir kreatif dan inovatif, menemukan solusi terhadap kebuntuan hukum, bahkan untuk kasus yang sama sekali baru.
Ringkasnya, buku ini mengajak kita untuk melihat hukum tidak hanya sebagai kumpulan aturan tertulis, tetapi sebagai entitas kompleks yang berakar pada sejarah, nilai, dan cita-cita masyarakat. Di tengah hiruk pikuk pragmatisme, filsafat hukum menawarkan lentera untuk mencari hakikat keadilan, menempatkan hukum kembali pada fitrahnya sebagai pelayan kemanusiaan, dan membangun sistem hukum yang benar-benar mencerminkan jiwa ke-Indonesiaan. Ini adalah panggilan untuk berpikir lebih dalam, merasa lebih peduli, dan bertindak dengan keberanian untuk mewujudkan keadilan yang substantif, bukan sekadar prosedural. Tanpa sinergi antara sistem hukum, perangkat hukum, dan budaya hukum yang positif, putusan pengadilan – cermin rasa keadilan – akan tetap sekadar aksesori tanpa makna.